Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling merupakan teknik perubahan perilaku yang didasari oleh pendekatan konseling behavioral. Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling dikembangkan oleh Joseph Wolpe yang merupakan salah satu pionir dalam terapi behavioral yang mengatakan bahwa semua perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan. Dia juga menjelaskan bahwa kecemasan kecemasan dapat dieliminasi dengan menemukan respon yang antagonistik. Teknik desensitisasi dalam konseling, klien atau konseli dilatih untuk santai dan menghubungkan keadaan santai itu dengan membayangkan pengalaman-pengalaman yang mencemaskan, menggusarkan atau mengecewakan. Situasi yang dihadirkan disusun secara sistematis dari yang kurang mencemaskan sampai pada yang paling mencemaskan (Willis, 2004:71).
Teknik desensitisasi dalam konseling didasarkan pada prinsip pengkondisian klasik, pada teknik desensitisasi dalam konseling ini klien atau konseli diminta untuk membayangkan situasi yang menyebabkan kecemasan secara terus menerus seperti mereka menghadapi situasi yang nyata. Secara bertahap atau secara sistematis klien atau konseli akan mengurangi tingkat sensitifitasnya terhadap situasi yang menyebabkan kecemasan. Teknik desensitisasi dalam konseling ini juga bisa dikatakan sebagai eksposure terapi. karena klien atau konseli diminta untuk memunculkan situasi yang menyebabkan kecemasan.
Teknik desensitisasi dalam konseling merupakan salah satu teknik yang diterapkan secara luas dan sering kali menjadi objek dalam penelitian. Meskipun proses teknik desensitisasi dalam konseling merupakan prosedur yang membutuhkan waktu relatif lama, tetapi teknik desensitisasi dalam konseling ini telah terbukti efektif untuk mengurangi gangguan kecemasan (Latipun, 2008). Sebelum melakukan teknik desensitisasi sistematis, seorang konselor harus mengumpulkan informasi mengenai gangguan yang dialami oleh klien atau konseli. Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling juga melibatkan teknik relaksasi.
Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling menerapkan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif biasanya berupa kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik, respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Cara yang digunakan dalam keadaan santai stimulus yang menimbulkan kecemasan dipasangkan dengan stimulus yang menimbulkan keadaan santai.
Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling biasanya digunakan jika seseorang mengalami kecemasan terhadap suatu stimulus tertentu. Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling bertumpu pada fakta bahwa seseorang tidak akan secara bersamaan merasa rileks dan cemas. Wolpe menggunakan teknik relaksasi sebagai cara dalam mengimbangi stimulus yang ditakuti. Ketika berada dalam suasana rileks, seorang individu tidak akan mengalami kecemasan dan untuk itulah teknik relaksasi digunakan.
Asumsi Dasar Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam konseling
Asumsi dasar teknik desensitisasi dalam konseling adalah berdasarkan respon ketakutan yang merupakan perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggantikannya dengan aktivitas yang berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. respon takut berupa kecemasan terhadap sesuatu yang kurang beralasan tersebut digantikan dengan relaksasi. Asumsi dasar yang melatarbelakangi teknik relaksasi adalah bahwa individu memiliki kecemasan yang muncul dari keadaan fisik maupun psikisnya, sehingga diperlukan upaya untuk menyalurkan kelebihan energi dalam dirinya melalui suatu kegiatan yang menyenangkan dan menenangkan. Jadi prinsip dasar teknik desensitisasi sistematis dalam konseling adalah dengan memasukkan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan, yaitu relaksasi.
Relevansi Teknik Desensitisasi Dalam Konseling
Mengenai relevansi teknik desensitisasi sistematis dalam konseling, teknik ini digunakan utamanya bagi individu yang mengalami gangguan perasaan takut berlebihan (fobia) terhadap sesuatu. Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling ini bersifat "mengajar" klien atau konseli yang memiliki perasaan takut terhadap sesuatu, yang sebenarnya tidak perlu ditakuti.
Karakteristik Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Menurut Fauzan (1994) karakteristik atau ciri-ciri teknik desensitisasi sistematis adalah sebagai berikut ini:
- Merupakan suatu teknik melemahkan respon terhadap stimulus yang tidak menyenangkan dan mengenalkan stimulus yang berlawanan (menyenangkan)
- penafsiran objektif atas hasil-hasil terapi
- Merupakan perpaduan dari beberapa teknik
Karakteristik atau ciri-ciri teknik desensitisasi sistematis lainnya adalah sebagai berikut ini:
- Pemusatan perhatian pada tingkah laku yang tampak dan spesifik
- Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment
- Perumusan prosedur treatment yang spesifik dan sesuai dengan masalah
- Penafsiran objektif atau hasil-hasil terapi
Tujuan Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Menurut Willis (2004: 71)teknik desensitisasi sistematis bertujuan mengajarkan konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli. Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling ini mengajarkan pada konseli untuk santai dan menghubungkan keadaan santai itu dengan membayangkan pengalaman yang mencemaskan, menggusarkan dan mengecewakan. Situasi yang dihadirkan disusun secara sistematis dari yang kurang mencemaskan sampai pada yang paling mencemaskan.
Secara lebih spesifik, tujuan dari teknik desensitisasi sistematis dalam konseling adalah sebagai berikut ini:
- Teknik ini digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapus
- Menciptakan proses baru bagi proses belajar, karena segenap tingkah laku adalah dapat dipelajari
- Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling bermaksud mengajarkan konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami oleh konseli
- Mengurangi sensitifitas emosional yang berkaitan dengan kelainan pribadi atau masalah sosial
Prinsip Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Prinsip teknik desensitisasi sistematis dalam konseling adalah perubahan perilaku termasuk didalam kategori melemahkan perilaku. Hal ini disebabkan dari permasalahan yang bisa diatasi dengan menggunakan teknik desensitisasi sistematis dalam konseling seperti fobia, anxiety dan lain-lain tidak perlu untuk dihilangkan sepenuhnya dari diri seorang klien atau konseli. Setiap individu perlu untuk tetap memiliki perasaan-perasaan seperti takut, cemas asal dalam batasan yang wajar atau normal. Jika individu tidak memiliki perasaan-perasaan seperti yang disebutkan diatas maka justru individu akan bermasalah atau tidak normal.
Artikel serupa: teknik kursi kosong
Manfaat Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Manfaat teknik desensitisasi dalam konseling antara lain adalah sebagai berikut ini:
- Desensitisasi sistematis sering digunakan untuk mengurangi mal-adaptasi kecemasan yang dipelajari melalui conditioning (seperti: fobia) tetapi juga dapat diterapkan pada masalah lain, misalnya kecemasan dalam menghadapi ujian.
- Teknik desensitisasi sistematis dapat membantu konseli dalam melemahkan atau mengurangi perilaku negatif tanpa menghilangkannya
- Konseli juga dapat mengaplikasikan teknik desensitisasi sistematis ini dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus ada konselor yang memandu
Jenis Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Secara umum, teknik desensitisasi sistematis dalam konseling dibagi menjadi 2 yaitu in vivo (nyata) dan in vitro (imajinasi).
1. Desensitisasi Sistematis in vivo
Desensitisasi sistematis in vivo (kehidupan nyata), dimana klien atau konseli secara bertahap menghadapi rasa takut terhadap stimulus sambil mempertahankan relaksasi. Setelah klien atau konseli terbiasa dengan relaksasi maka akan lebih efektif jika menghadapkan klien atau konseli pada situasi nyata, yaitu dengan desensitisasi sistematis in vivo. Tujuannya adalah agar klien atau konseli benar-benar mampu menghadapi ketakutan-nya. Hal ini terutama tepat diterapkan pada klien atau konseli yang memiliki kesulitan dalam membayangkan suatu hal yang menyebabkan kecemasan sehingga mereka tidak dapat merasakan perasaan emosional.
2. Desensitisasi Sistematis in vitro
Desensitisasi sistematis in vitro merupakan proses khusus dalam imajinasi:
- Klien atau konseli diminta untuk menghayalkan hal-hal yang menimbulkan kecemasan dimulai dari tingkatan yang paling rendah
- Klien atau konseli diminta untuk mengacungkan jari telunjuknya jika dirinya merasa cemas saat membayangkan
- Berfikir tentang hal yang ditakutkan dan relaksasi lagi
- Disajikan kecemasan pada tingkat selanjutnya
Prosedur Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Prosedur teknik desensitisasi sistematis dalam konseling menurut Semiun (2006: 537) desensitisasi sistematis terdiri dari 3 tahap utama yaitu: melatih relaksasi otot secara mendalam, menyusun hierarki kecemasan, dan menghayalkan stimulus-stimulus yang menyebabkan kecemasan diimbangi dengan relaksasi. Wolpe menyebutkan bahwa menyusun hierarki kecemasan merupakan tahap yang paling sulit dalam desensitisasi sistematis.
Menurut Wolpe (dalam Corey, 2007: 209) menguraikan secara terperinci mengenai prosedur pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis yang dapat dijelaskan sebagai berikut ini:
- Desensitisasi sistematis dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus yang dapatmembangkitkan kecemasan saat ujian. disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan kecemasan klien atau konseli dalam area tertentu.
- Konselor dan konseli mendaftar hasil-hasil apa saja yang menyebabkan konseli diserang perasaan cemas dan kemudian menyusunnya secara hierarkis.
- Konselor melatih konseli untuk mencapai keadaan rileks atau santai
- Konselor melatih konseli untuk membentuk respon-respon antagonistik yang dapat menghambat perasaan cemas
- Pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis dalam konseling. proses desensitisasi sistematis melibatkan keadaan dimana konseli sepenuhnya santai dengan mata tertutup.
Prosedur pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis menurut (Wilis, 2004: 72) adalah sebagai berikut ini:
- Analisis perilaku yang menimbulkan kecemasan
- Menyusun hierarki atau jenjang-jenjang situasi yang menimbulkan kecemasan dari yang kurang hingga yang paling mencemaskan konseli
- Memberikan latihan relaksasi otot-otot yang dimulai dari lengan hingga otot kaki
- Konseli diminta untuk membayangkan situasi yang menyenangkannya seperti di pantai, ditengah taman yang hijau dan lainnya
- Konseli disuruh memejamkan mata, kemudian disuruh membayangkan situasi yang kurang mencemaskan. Jika konseli sanggup tanpa cemas atau gelisah, berarti situasi tersebut dapat diatasi oleh konseli. Demikian seterusnya hingga ke situasi yang paling mencemaskan
- Bila pada suatu situasi konseli merasa cemas dan gelisah, maka konselor memerintahkan konseli agar membayangkan situasi yang menyenangkan tadi untuk menghilangkan kecemasan yang baru terjadi
- Menyusun hierarki atau jenjang kecemasan harus bersama konseli, dan konselor menuliskannya dikertas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah dalam pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis dalam konseling khususnya in vitro adalah sebagai berikut ini:
- Latihan relaksasi
- Pengembangan hierarki kecemasan
- Secara lebih rinci tahap pelaksanaan desensitisasi sistematis adalah:
- Penyampaian rasional
- Identifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan
- Identifikasi konstruksi hierarkiPemilihan dan latihan
- Penilaian imajeri
- Penyajian adegan
- Pekerjaan rumah dan tindak lanjut
Kelebihan dan Kekurangan Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
1. Kelebihan Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Kelebihan teknik desensitisasi sistematis dalam konseling adalah sebagai berikut ini:
- Konseli dapat belajar secara mandiri dan percaya pada kemampuan sendiri untuk menghadapi kecemasan
- Konseli dapat meningkatkan kemampuannya dalam berkonsentrasi
- Penggunaan teknik desensitisasi sistematis tidak memerlukan biaya yang mahal
2. Kekurangan Teknik Desensitisasi Sistematis Dalam Konseling
Teknik desensitisasi sistematis mungkin saja tidak berhasil dilakukan pada beberapa konseli. Penyebab kegagalan teknik desensitisasi sistematis menurut Wolpe (dalam Gantina, 2011: 194-195) adalah sebagai berikut ini:
- Konseli yang mengalami kesulitan dalam relaksasi
- Tingkat kecemasan yang tidak relevan atau tidak tepat saat disusun bersama konseli
- Ketidakmemadaian dalam membayangkan
Adapun kelemahan teknik desensitisasi sistematis adalah:
Menggunakan teknik desensitisasi sistematis tidak selalu mudah bagi konselor, perlu belajar lebih sebelum mengaplikasikannya pada konseli
Tidak selalu mudah bagi konseli untuk dapat membayangkan situasi yang sesuai dengan kecemasan yang dialami
Pengaplikasian keberhasilan dari teknik desensitisasi sistematis kedalam kondisi sesungguhnya tidak selalu mudah
Konselor perlu membuat format-format tertentu yang sangat detail mengenai masalah konseli sesuai dengan tingkatan atau tahapan-tahapan teknik ini
Teknik desensitisasi sistematis memerlukan waktu yang lama untuk penerapannya sebab terdapat tahap-tahap atau tingkatan yang berkelanjutan dalam membantu konseli
Penggunaan teknik desensitisasi sistematis juga bergantung pada kemampuan verbal konseli dalam "positive self talk"
Kesimpulan
Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling bertujuan untuk mengajarkan pada konseli untuk memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli. Teknik desensitisasi sistematis dalam konseling ini mengajarkan pada konseli untuk santai dan menghubungkan keadaan santai itu dengan membayangkan pengalaman yang mencemaskan.
Referensi
- Corey, Gerald.2005. Theory And Practice Of Counseling And Psychotherapy. Belmont: Thompson Brooks-Cole
- Fauzan, Lutfi. 1994. Konseling Individual. Malang: Elang Mas
- Jones, Nelson. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Komalasari, Gantina., Eka Wahyuni dan Karsih. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT Indeks
- Latipun. 2008. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press
- Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius
- Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta