-->

Mati Rasa Secara Emosional

Mati Rasa Secara Emosional

Mati rasa emosional

Mati rasa secara emosional adalah keadaan di mana seseorang tidak dapat merasakan atau mengekspresikan emosi yang dimilikinya. Mati rasa secara emosional cukup sering dialami oleh kebanyakan orang dengan perasaan mati rasa yang bersifat sementara. Namun, bagi sebagian orang, mati rasa secara emosional menjadi salah satu strategi untuk melindungi diri dari rasa sakit emosional atau fisik lebih lanjut. Meskipun hal ini mungkin memberikan perasaan kelegaan sementara, belajar mengatasi perasaan sulit dengan cara ini dapat memiliki konsekuensi dalam jangka panjang.

Gejala Mati Rasa Secara Emosional

Gejala mati rasa secara emosional meliputi hal-hal sebagai berikut ini:

  • Mengalami ketidakmampuan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan
  • Gagal mengakses perasaan diri sendiri
  • Merasa jauh atau terpisah dari orang lain
  • Merasa datar, baik secara fisik maupun emosional
  • Memiliki kesulitan dengan mengalami perasaan positif seperti kebahagiaan
  • Kehilangan minat pada aktivitas yang biasa dinikmati
  • Lebih suka menyendiri daripada bersama orang lain

Orang yang mengalami mati rasa secara emosional mungkin menggunakan strategi untuk menolak menghadapi emosi mereka sendiri. Bahkan jika mereka melakukannya secara tidak sadar, mereka mungkin menggunakan perilaku menghindar dan menghindari orang lain atau situasi tertentu. Mereka mungkin akan melakukan penyangkalan, yang merupakan mekanisme pertahanan umum yang digunakan oleh orang untuk menghindari pemicu perasaan emosional dan perasaan negatif.

Penyebab Mati Rasa Secara Emosional

Merasa mati rasa secara emosional dapat terjadi sebagai akibat dari rasa sakit fisik atau emosional. Dalam upaya untuk melindungi diri agar tidak disakiti lagi, tidak jarang seseorang akan melepaskan atau mematikan perasaan yang terkait dengan situasi tersebut.

Ketika ini terjadi, seseorang mungkin merasakan kelegaan sementara yang memungkinkan dirinya untuk melanjutkan hidup dengan baik. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perisai pelindung ini dapat menjadi penghalang hubungan dirinya dengan orang lain dan berhubungan dengan perasaan yang positif maupun negatif.

Ada berbagai alasan mengapa seseorang mengalami merasa mati rasa secara emosional, diantaranya adalah sebagai berikut ini.

1. Kecemasan

Orang yang didiagnosis dengan gangguan kecemasan mungkin akan mengalami mati rasa secara emosional sebagai respons terhadap tingkat stres yang sangat tinggi, ketakutan, atau kekhawatiran yang berlebihan. Tingkat kecemasan yang tinggi terkait dengan penghindaran emosi positif dan negatif.

2. Gangguan Kepribadian Borderline (BPD)

Orang dengan gangguan kepribadian BPD (borderline personality disorder) mungkin akan mengalami periode pelepasan atau mati rasa secara emosional. Mungkin dirinya akan merasa seolah-olah perasaan mereka bukan milik mereka sendiri.

3. Kesedihan

Saat menghadapi kematian, seseorang mungkin mengalami masa di mana mereka merasa benar-benar terputus dari emosinya.

4. Depresi

Orang yang mengalami episode depresi mungkin akan menjadi kurang selaras dengan perasaan mereka, atau mengalami emosi yang tumpul. Tingkat depresi dan disregulasi suasana hati yang lebih tinggi menghasilkan kecenderungan yang lebih besar untuk seseorang menjadi mati rasa secara emosional.

5. Obat-obatan

Merasa mati rasa secara emosional bisa menjadi efek samping dari beberapa obat yang digunakan dalam mengobati depresi dan kecemasan. Jika seseorang mengonsumsi antidepresan dan merasa mati rasa secara emosional, penting untuk bekerja sama dengan dokter dalam mengatasinya. Mereka mungkin memilih untuk menyesuaikan dosis dirinya atau mengganti obat sama sekali.

6. Pelecehan Mental atau Emosional

Studi penelitian telah menunjukkan bahwa orang yang dilecehkan secara emosional pada masa anak-anak lebih mungkin mengalami disregulasi emosional, termasuk mati rasa secara emosional, sebagai orang dewasa.

7. Stres Luar Biasa

Mati rasa secara emosional dapat menjadi hasil dari tingkat stres yang tinggi. Jika seseorang merasa lelah, lelah secara emosional atau fisik, atau kewalahan, dirinya mungkin merasa terlepas dari perasaannya.

8. Pelecehan Fisik

Orang yang dilecehkan secara fisik mungkin juga dapat merasa mati rasa secara emosional. Merasa mati rasa secara emosional bisa menjadi mekanisme koping untuk menghindari menghadapi situasi yang berbahaya dan menakutkan.

9. Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD)

Beberapa orang akan beralih ke mati rasa emosional sebagai cara untuk mengelola rasa sakit emosional dan fisik. Bagi penderita PTSD (post traumatic syndrom disorder), hal ini dapat bermanifestasi sebagai menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berkaitan dengan peristiwa traumatis.

10. Skizofrenia

Orang dengan gangguan skizofrenia mungkin akan mengalami periode waktu di mana mereka merasa apatis atau tidak tertarik sama sekali serta mati rasa secara emosional atau tumpul secara emosional.

11. Penyalahgunaan zat

Orang yang menyalahgunakan zat seperti mariyuana atau kokain dapat mengubah sistem penghargaan pada otak, hal itu akan membuat otak lebih sulit merasakan kesenangan tanpa obat. Penggunaan zat dapat menghasilkan pelepasan dari emosi seseorang dan kurangnya motivasi dan minat secara keseluruhan.

Sementara mati rasa secara emosional dapat memblokir atau mematikan perasaan dan pengalaman negatif, hal itu juga akan mematikan kemampuan seseorang untuk mengalami kesenangan, interaksi positif dan aktivitas sosial, dan keintiman.

Perawatan untuk Mati Rasa Secara Emosional

Ada berbagai pilihan perawatan yang tersedia yang dapat membantu seseorang dalam mengurangi sejauh mana dirinya mencoba melarikan diri, melepaskan diri dari, atau menghindari emosi.

Setelah seseorang menemukan konselor, terapis atau psikolog untuk diajak bekerja sama, langkah pertama dalam proses perawatan adalah mengungkap penyebab mati rasa secara emosional yang dialaminya. Seorang terapis dapat membantu dirinya dalam menentukan penyebab trauma yang mendasarinya, dan menemukan cara yang lebih baik untuk mengatasi pengalaman dan emosi yang membebani. 

Tujuan utama psikoterapi adalah untuk merangsang pemahaman tentang masalah dan memaparkan alternatif pemecahan masalah yang layak dan efektif.  Psikoterapi dapat mendukung pembelajaran dan penggunaan alat koping yang produktif. Seseorang mungkin belajar membiarkan perasaan muncul dan memprosesnya dalam lingkungan terapi yang aman. 

Mempelajari dan mempraktikkan strategi perilaku kognitif untuk mengelola stres, pengalaman traumatis, depresi, dan kecemasan dapat membantu menjinakkan pikiran negatif. 

Terapi atau konseling apa pun yang seseorang pilih, mendapatkan bantuan dapat memberi dirinya tempat yang aman untuk mengekspresikan dan mendekati emosinya sehingga seseorang tersebut tidak lagi merasa mati rasa secara emosional.

1. Konseling Perilaku Kognitif

Konseling perilaku kognitif (CBT) memberi seseorang kesempatan untuk mengekspresikan dan memahami emosi dirinya, serta memeriksa sumber respons emosional tersebut. Hal ini membahas bagaimana pikiran tertentu dapat berkontribusi pada emosi seseorang.

Alih-alih menghindari atau menggunakan alat koping yang maladaptif (seperti mati rasa secara emosional), strategi konseling CBT (cognitive behavioral therapy) bertujuan memberdayakan seseoranh untuk beralih dari pikiran tentang ketidakberdayaan ke keyakinan akan kekuatan dan kompetensi emosional.

Artikel terkait: manfaat konseling cbt

2. KonselingPenerimaan dan Komitmen

Konseling penerimaan dan komitmen (ACT) adalah bentuk lain dari konseling perilaku yang sering digunakan dengan gangguan PTSD (post traumatic syndrom disorder) dan masalah kesehatan mental lainnya yang memiliki gejala mati rasa secara emosional dan penghindaran emosional.

Konseling ACT (Acceptance and commitment therapy) menggunakan pendekatan berbasis kesadaran untuk membantu seseorang dalam mengenali cara dirinya berusaha menekan atau mengendalikan pengalaman emosional. Tujuan ACT adalah untuk membantu seseorang yang mengalami perasaan batin dirinya sambil memusatkan perhatian pada upaya menjalani kehidupan yang bermakna.

Mengatasi Mati Rasa Secara Emosional

Selain psikoterapi, konselor atau terapis mungkin merekomendasikan beberapa modifikasi gaya hidup untuk membantu meringankan beberapa gejala mati rasa secara emosional, dan untuk mencegah lebih banyak episode terjadi lagi di masa mendatang. Meskipun mungkin memerlukan sedikit trial and error (coba-coba), kunci untuk keberhasilan modifikasi gaya hidup adalah menemukan yang terbaik untuk diri sendiri. Berikut beberapa ide yang bisa dicoba sendiri. 

1. Mengembangkan Sistem Pendukung

Meskipun berhubungan dengan orang lain mungkin akan tampak sulit pada awalnya, mencari dukungan sosial dari teman dan keluarga yang seseorang percaya dapat membantu memberikan cara yang aman untuk mengekspresikan emosi.

2. Terlibat dalam Aktivitas Fisik

Tetap aktif secara fisik dan melakukan olahraga yang seseorang sukai tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan dirinya sendiri, tetapi juga dapat mengurangi gejala depresi dan kecemasan. Perlu untum mencoba menyertakan beberapa bentuk olahraga atau aktivitas fisik hampir setiap hari dalam seminggu. 

3. Istirahat yang Cukup

Kualitas tidur dan jumlah istirahat sangat penting untuk mengatasi gejala masalah kesehatan fisik, emosional, atau mental. Kurang tidur dapat membuat mengatasi stres dalam hidup menjadi lebih menantang.

Meskipun sering terbangun di malam hari saat menghadapi PTSD, depresi, kecemasan, atau trauma lainnya, perlu untuk mencoba tidur tujuh jam atau lebih setiap malam, yang merupakan jumlah yang disarankan untuk orang dewasa.

4. Minimalkan Stres

Stres sehari-hari dan stres yang berlebihan merupakan kontributor utama bagi seseorang untuk merasa mati rasa secara emosional. Menemukan cara untuk mengelola stres dengan lebih baik adalah kunci untuk mengatasi penghindaran emosi dan perasaan.

Seseorang perlu mengatur jadwal, perlu untuk memastikan meluangkan waktu untuk aktivitas yang seseorang sukai. Melatih pernapasan dalam, dapat membantu memberikan relaksasi segera.

5. Gunakan Strategi Mindfulness

Strategi mindfulness mungkin akan sangat membantu dalam mengurangi mati rasa secara emosional dan meningkatkan kekuatan dan kompetensi emosional untuk mengelola pengalaman yang penuh tekanan.

Terlibat dalam latihan relaksasi, khususnya latihan kesadaran tubuh bisa sangat membantu untuk membangkitkan sensasi, perasaan, dan pengaturan emosi.

Kesimpulan

Mempelajari cara baru untuk mengatasi peristiwa traumatis, stres yang berlebihan, depresi, kecemasan, atau peristiwa serius lainnya dalam hidup adalah hal yang mungkin untuk dilakukan. 

Referensi

  1. Kerig PK, Bennett DC, Chaplo SD, Modrowski CA, McGee AB. Numbing of positive, negative, and general emotions: Associations with trauma exposure, posttraumatic stress, and depressive symptoms among justice-involved youth. Journal of Traumatic Stress. 2016;29(2):111-119. doi:10.1002/jts.22087
  2. Fujiwara T, Mizuki R, Miki T, Chemtob C. Association between facial expression and PTSD symptoms among young children exposed to the Great East Japan Earthquake: A pilot study. Front Psychol. 2015;6. doi:10.3389/fpsyg.2015.01534
  3. Tull MT, Gratz KL, Salters K, Roemer L. The role of experiential avoidance in posttraumatic stress symptoms and symptoms of depression, anxiety, and somatization. J Nerv Ment Dis. 2004;192(11):754-761. doi:10.1097/01.nmd.0000144694.30121.89
  4. Dixon-Gordon KL, Peters JR, Fertuck EA, Yen S. Emotional processes in borderline personality disorder: An update for clinical practice. J Psychother Integr. 2017;27(4):425-438. doi:10.1037/int0000044
  5. Shear MK. Grief and mourning gone awry: Pathway and course of complicated grief. Dialogues Clin Neurosci. 2012;14(2):119-128. doi:10.31887/DCNS.2012.14.2/mshear
  6. Dvir Y, Ford JD, Hill M, Frazier JA. Childhood maltreatment, emotional dysregulation, and psychiatric comorbidities. Harv Rev Psychiatry. 2014;22(3):149-161. doi:10.1097/HRP.0000000000000014
  7. Weilenmann S, Schnyder U, Parkinson B, Corda C, von Känel R, Pfaltz MC. Emotion transfer, emotion regulation, and empathy-related processes in physician-patient interactions and their association with physician well-being: A theoretical model. Front Psychiatry. 2018;9:389. doi:10.3389/fpsyt.2018.00389
  8. Bisson JI, Cosgrove S, Lewis C, Roberts NP. Post-traumatic stress disorder. BMJ. 2015:h6161. doi:10.1136/bmj.h6161
  9. Klaus F, Kaiser S, Kirschner M. Negative Symptoms in Schizophrenia - An overview. Ther Umsch. 2018;75(1):51-56. doi:10.1024/0040-5930/a000966
  10. Alexander W. Pharmacotherapy for post-traumatic stress disorder in combat veterans: Focus on antidepressants and atypical antipsychotic agents. P T. 2012;37(1):32-8. PMID: 22346334; PMCID: PMC3278188.
  11. Scott AJ, Webb TL, Rowse G. Does improving sleep lead to better mental health? A protocol for a meta-analytic review of randomised controlled trials. BMJ Open. 2017;7(9):e016873. doi:10.1136/bmjopen-2017-016873

LihatTutupKomentar

Followers