-->

Perbedaan Agama Dalam Keluarga (Bimbingan dan Konseling Keluarga)

 Perbedaan Agama Dalam Keluarga (Bimbingan dan Konseling Keluarga)

Pernikahan Beda Agama
Perbedaan Agama Dalam Keluarga (Bimbingan dan Konseling Keluarga)
Pernikahan beda agama

Di Indonesia, menikah berbeda agama memang belum dibolehkan, tidak dibenarkan oleh Undang-undang. Menurut UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 perkawinan hanya sah bila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Pernikahan ini mensyaratkan kesamaan agama dalam melaksanakan perkawinan. Perkawinan secara Islam dilayani dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan perkawinan bagi umat Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Salah satu alasan yang sering disebut tidak bolehnya menikah beda agama karena untuk menjaga kelestarian perkawinan itu sendiri. Karena sangat mungkin perbedaan agama akan memunculkan berbagai macam akibat bagi orang yang menjalaninya, khususnya tentang pendidikan anak. Namun alasan seperti itu sekarang mulai dikritisi. Artinya banyak yang mempertanyakan. Kalau agama memungkinkan menikah beda agama kenapa negara tidak. Bukankah dengan nikah beda agama akan menyatukan hubungan kemanusiaan antar pemeluk beda agama. Berapa banyak korban terjadi dalam perang antar agama, karena agama dipahami secara kelas sosial. Perkembangan modernisasi dan globalisasi telah menjadikan semakin terbukanya sekat-sekat budaya lokal dan menjadikan kita berada dalam Global Village. Berbagai paham dan ideologi baru membanjiri persepsi masyarakat kita, disana ada paham humanisme yakni paham yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ada juga individualisme yakni paham yang lebih mementingkan keputusan individu melebihi kepentingan kelompok, dan paham rasionalisme yang mementingkan segala sesuatu yang bisa diterima akal dan menolak segala sesuatu yang tidak diterima akal. Salah satu gejala modern dalam masalah pembentukan keluarga adalah adanya keinginan individu menikah dengan orang yang beda agama. Keinginan yang sifatnya individu, menikah atas dasar cinta, bertentangan dengan tatanan kolektif secara umum yang tidak membenarkan pernikahan beda agama. Entah karena alasan cinta atau karena orang tersebut pernah mendengar bahwa dalam Islam memungkinkan untuk menikah beda agama, misalnya bagi laki-laki muslim terhadap wanita ahli kitab (Nasrani), sehingga individu tersebut berani mengambil langkah untuk menikah beda agama. 

Fenomena ini tentunya perlu dicermati oleh Negara, apakah cukup didiamkan saja, sehingga orang yang berkeinginan menikah beda agama semacam itu dipersilahkan untuk mencari jalan keluarnya sendiri? Atau Negara sudah waktunya memikirkan untuk memberi jawaban atau jembatan yang memungkinkan pelaksanaan nikah beda agama di dalam negeri. Modernisasi dan globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang harus dihadapi oleh manusia, termasuk masyarakat Indonesia. Termasuk di sini adalah munculnya fenomena keinginan sebagian orang menikah dengan lain jenis yang berbeda agama. Dalam era globalisasi terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi dan informasi hasil modernisasi teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang berarti saling dipengaruhi dan mempengaruhi; saling bertentangan dan bertabrakan nilai-nilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah, menang atau saling kerjasama. 

Pembicaraan di atas menggambarkan bahwa masyarakat kita semakin kritis terhadap tatanan hukum formal yang ada di Indonesia. Dengan alasan bahwa semua agama mempunyai konsep ketuhanan dan konsep amal baik, maka ada yang berpendapat bahwa nikah dengan orang yang beda agama adalah sesuatu yang dimungkinkan dalam Islam. Mereka biasanya mendasarkan diri pada ayat al Qur’an yang berbunyi: “(Dan dihalalkan mengawini) …wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya… “(QS 5: 5). Namun dari ayat ini pula perbedaan pendapat itu muncul, ada yang menghalalkan ada yang mengharamkan pernikahan beda agama. Kalau dicermati lebih dalam lagi, pendapat yang membolehkan menikah beda agama itu lebih berlaku pada pernikahan antara pria muslim dengan wanita non muslim. Sedangkan mengenai wanita muslim yang mau menikah dengan pria non-muslim, sepengetahuan penulis masih jarang ada ulama yang tegas-tegas berani memperbolehkannya. Keberatan-keberatan pernikahan beda agama di Indonesia biasanya lebih banyak berkaitan dalam masalah pendidikan anak nantinya.

Pengaruh Pernikahan Beda Agama Terhadap Keluarga

Larangan pernikahan beda agama itu agaknya  dilatarbelakangi  oleh  harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Bagaimana mendidik anak-anak mereka, karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya. Perkawinan baru  akan  langgeng  dan  tenteram jika  terdapat  kesesuaian  pandangan  hidup  antar  suami dan isteri, karena jangankan  perbedaan  agama,  perbedaan  budaya, atau  bahkan  perbedaan  tingkat  pendidikan  antara suami dan isteri pun tidak  jarang  mengakibatkan  kegagalan  perkawinan.

Sebenarnya penyebab permasalahan pernikahan beda agama bukanlah perbedaan agama, akan tetapi konflik tak terselesaikan dalam permasalahan keagamaan. Dengan demikian, bila permasalahan keagamaan dapat diatasi, pernikahan beda agama dapat berjalan dengan lancar. Hal ini dibuktikan dengan adanya pasangan tertentu yang dapat melewati pernikahan ini dengan sukses. 

Untuk anak-anak yang lahir dan tumbuh besar dalam keluarga berbeda agama memiliki potensi lebih besar terkena masalah dalam keagamaan. Ketika lahir, penentuan anak akan dibesarkan dalam agama mana dapat menjadi masalah. Selain itu, keluarga besar dari masing-masing pasangan umumnya terlibat dalam memperebutkan agama anak. Beranjak usia, anak yang telah menjadi remaja dapat mengalami kebingungan dalam menentukan agamanya. Misalkan kedua orang tua adalah  figur yang sama baik di mata anak, anak akan tidak enak hati bila harus memilih salah satu dari agama yang dianut orang tuanya.

Pernikahan beda agama dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang, baik secara psikologis maupun religius, baik itu terhadap pasangan maupun anak. Pasangan adalah subyek dari pernikahan beda agama. Namun demikian, yang akan menerima dampak paling besar adalah si anak. Kebanyakan kasus anak dari pernikahan beda agama tidak mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama secara menyeluruh dari kedua orang tuanya, anak-anak ini menunjukkan pencapaian dimensi kepercayaan, intelektual, dan konsekuensial yang baik, namun pencapaian dimensi ritual dan eksperiensial kurang baik. Mereka memiliki keyakinan terhadap Tuhan yang baik, memandang penting berbuat baik terhadap sesama namun ritual tidak wajib dilakukan.

Proses dibesarkan dalam pernikahan beda agama menjadi pengalaman negatif bagi anak bila mereka mengalami perlakuan negatif dari orang tua dan keluarga besar. Sebagian anak tidak ingin menjadi bagian dari agama apapun ketika dewasa karena mengalami banyak konflik emosional semasa dibesarkan dalam keluarga. Apabila pengalaman ini berlangsung lama, maka akan ada dampak terhadap kesejahteraan psikologisnya, terutama dalam hal penerimaan diri.

Dampak Positif dan Negatif Perbedaan Agama Dalam Pendidikan Anak di Keluarga

Perkawinan beda agama mempunyai dampak positif sekaligus dampak negatif tertentu. Berikut adalah dampak positif dan negatif secara garis besarnya:

Dampak Positif:

  1. Toleransi, Dalam keluarga pasangan beda agama, agama dianggap tidak layak diajukan sebagai sumber konflik. Keluarga lebih menginginkan perdamaian di rumah, sehingga perbedaan agama tidak terlalu dibesar-besarkan. Toleransi merupakan aspek paling positif dari kebanyakan kasus perkawinan beda agama. Beberapa fenomena artikulasi sikap toleransi itu nampak dalam seperti adanya kesepakatan untuk tidak memasang simbol-simbol agama tertentu di rumahnya, menghormati anggota keluarga yang sedang menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. 
  2. Demokratis, demokratis di sini yang dimaksudkan adalah demokratis dalam kehidupan agama. Hal ini ditunjukkan dengan sikap menerima perbedaan agama di keluarga, mendorong, dalam beberapa kasus malahan muncul sikap sportif mendorong orang lain yang berbeda agama untuk menjalankan agamanya secara baik. Pengetahuan yang lebih luas mengenai ajaran agama lain. Adanya perbedaan agama dalam rumah tangga memungkinkan sekali anggota keluarga untuk belajar mengenai ajaran agama lain. Akibatnya anak bisa sedikit banyak memahami atau bahkan menjelaskan konsep agama, teologi, ibadah dua agama yang berbeda. Hal ini berbeda dengan anak yang dilahirkan dan dibesarkan pada orang tua yang seagama. 

Dampak Negatif: 

Kompetisi terselubung, masing-masing orang tua dalam hati kecil menginginkan kalau anak nantinya mengikuti agama dirinya. Keinginan ini membuat masing-masing orang tua merusaha menarik anaknya ke dalam agamanya. Di sinilah kompetisi terselubung itu terjadi. Kompetisi ini asalkan fair itu tidak akan menimbulkan masalah, masalah muncul ketika salah satu orang tua melalui memaksakan kehendak. Namun ada juga yang mencoba membuat kesepakatan untuk menghindari tarik menarik tersebut, dengan cara anak nantinya dibagi dalam dua agama orang tua, atau saking cintanya seseorang dengan pasangan hidupnya dia rela mengalah agama anak mengikuti agama pasangannya sekalipun berbeda dengan dirinya; atau anak nantinya dibebaskan mau memilih agama apa ketika telah dewasa kelak. Khusus yang terakhir ini, sewaktu kecil dikenalkan dengan kedua agama orang tua, baru setelah dewasa si anak memilih maka itu adalah hak anak untuk menentukannya. Anak Mengalami kebingungan awal, dalam kasus anak diberi pelajaran dua agama orang tuanya, anak mulanya akan mengalami kebingungan-kebingungan awal. Muncul pertanyaan dirinya sebenarnya agama dirinya itu apa?. Fenomena ini sering muncul dalam kasus anak pasangan beda agama. Satu contoh kasus, anak dalam raport sekolah ditulis Kristen, namun dalam kesehariannya anak melakukan sholat lima waktu. Proses itu berlangsung hingga pada akhirnya anak itu berani memastikan agama dirinya.Rasa sedikit terisolasi dari masyarakat agama, perasaan ini muncul akibat belum diakuinya perkawinan beda agama di Indonesia. Ditambah banyak penceramah agama yang menyatakan bahwa nikah beda agama hukumnya haram, termasuk tindakan zinah. Dengan kondisi demikian, pelaku nikah beda agama terkadang merasa diisolasi atau merasa guilty (merasa bersalah) sehingga perlu bersikap mengisolasi diri dalam pembicaraan agama dengan masyarakat lain dan hal ini juga berdampak secara langsung terhadap anak-anak hasil pernikahan beda agama. Pilihan menikah beda agama ternyata secara umum masih dinilai sebagai sesuatu yang ganjil oleh kebanyakan masyarakat beragama.


Daftar Pustaka
Ali, H.Suparmo dan Hartini,Tri. (2014). Konseling Keluarga. Semarang. IKIP PGRI Semarang Press 
Djamarah, Syaiful Bahari. (2014). Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga (Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak). Jakarta : Rineka Cipta
Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga (Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga). Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Nalgita, Prof. Dr. Bimo. (2014). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta : Andi Offset
Nggermanto, Ir. Agus. (2015). Kecerdasan Quantum (Melejitkan IQ, EQ, dan SQ). Bandung : Nuansa Cendekia
Pujosuwarno, Sayekti. (1994). Bimbingan dan Konseling Keluarga. Yogyakarta : Menara Mas Offset
Salim, H. Moh Haitami. (2013). Pendidikan Agama dalam Keluarga (Revitalisasi Peran Keluarga dalam Membangun Generasi Bangsa yang Berkarakter). Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
St. Darmawijaya. (1994). Mengarungi Hidup Berkeluarga. Yogyakarta : Kanisius
Willis, S.Sofyan.(2011). Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung : Alfabeta
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Surabaya : Rona Publishing

LihatTutupKomentar

Followers