-->

Mengembangkan IQ, EQ, CQ, SQ Anak Dalam Keluarga/Orang Tua

 Mengembangkan IQ, EQ, CQ, SQ Anak Dalam Keluarga/Orang Tua (Bimbingan dan Konseling Keluarga)

Mengembangkan IQ, EQ, CQ, SQ Anak Dalam Keluarga/Orang Tua
Mengembangkan IQ, EQ, CQ, SQ Anak Dalam Keluarga/Orang Tua

Dalam rentang waktu dan sejarah yang panjang, manusia pernah sangat mengagungkan kemampuan otak dan daya nalar (IQ), bahkan sampai saat ini. Kemampuan berfikir dianggap sebagai primadona. Potensi diri yang lain diabaikan. Pola pikir dan cara pandang yang demikian telah melahirkan manusia terdidik dengan otak yang cerdas tetapi sikap, perilaku dan pola hidup sangat kontras dengan kemampuan intelektualnya. Banyak orang yang cerdas secara akademik tetapi gagal dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Mereka memiliki kepribadian yang terbelah. Di mana tidak terjadi integrasi antara otak dan hati. Kondisi tersebut pada gilirannya menimbulkan krisis multi dimensi yang sangat memprihatinkan. 

Fenomena tersebut telah menyadarkan kita bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan otak dan daya pikir semata, malah lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ), Kreativitas (CQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Tentunya ada yang salah dalam pola pembangunan SDM selama ini, yakni terlalu mengedepankan IQ dengan mengabaikan EQ, CQ dan SQ. Oleh karena itu kondisi demikian sudah waktunya diakhiri, di mana pendidikan harus diterapkan secara seimbang, dengan memperhatikan dan memberi penekanan yang sama kepada IQ, EQ, CQ dan SQ.

A. IQ (Intelligence Quotient)

Pada umumnya IQ rata-rata orang diberi angka 100.“IQ hanya digunakan antara lain membayangkan ruang, melihat lingkungan sekeliling secara runtut dan mencari hubungan antara satu bentuk dan bentuk lainnya. Tetapi IQ tidak mengukur kreativitas, kemampuan sosial, dan kearifan seseorang.

Sementara itu, kecerdasan anak dilihat dari pemahaman dan kesadaran terhadap apa yang dialaminya. Kemudian di dalam pikirannya, pengalaman itu diubah menjadi kata-kata atau angka. Karena itu, Kita harus menekankan pentingnya pemahaman. ”Karena pemahaman adalah kombinasi antara upaya memperbanyak masukan melalui pancaindra dan pengetahuan yang sudah dimiliki”.

Bagaimana mengoptimalkan kecerdasan anak? 

Para orang tua harus meningkatkan cara belajar, membaca, dan mengulang. Misalnya, untuk memperkenalkan cara membaca, ibu membantu anak dengan memberi garis di bawah kata-kata yang penting, meminta anak membaca dengan suara keras dan menjelaskan makna bacaannya.Selain itu, orang tua juga mengenalkan strategi, mengambil keputusan yang rasional, mencetuskan ide selancar mungkin, mid mapping, meningkatkan perbendaharaan kata-kata, berpikir sambil membayangkan, humor, berpikir kritis, dan bermain.Tujuannya untuk menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan, karena struktur otak belahan kiri dan kanan mempunyai tugas yang berbeda.

Kenapa perlu menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan? Agar anak bisa membaca lancar dengan pemahaman penuh, menulis secara kreatif, mengeja, mengingat, mendengar, berpikir sekaligus pada saat yang sama atau menjadi juara pada cabang olahraga tertentu. Semua itu dibutuhkan koordinasi otak kiri dan kanan dengan baik serta terlatih.

Tetapi menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan bisa pula melalui kebiasaan. misalnya dengan menikmati musik dan kesenian, menikmati warna, ruang dan bentuk, menghargai kreativitas dan menghargai kepekaan perasaan.

Ruang Lingkup IQ meliputi: 

  1. Kapasitas umum seseorang untuk mengerjakan atau melakukan sesuatu.
  2. Berhubungan dengan penalaran / berfikir.
  3. Intelligensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara logis, terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.

Pengukuran/ Klasifikasi IQ :

  • Very Superior : 130 –
  • Superior : 120 – 129
  • Bright normal : 110 – 119
  • Average : 90 – 109
  • Dull Normal : 80 – 89
  • Borderline : 70 – 79
  • Mental Defective : 69 and bellow

Ciri Khas IQ (Intelligence Quoetion):

  • Logis
  • Rasional
  • Linier
  • Sistematis

B. EQ (Emotional Quotient)

Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.

Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.

Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.

Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:

  1. Empati (memahami orang lain secara mendalam)
  2. Mengungkapkan dan memahami perasaan
  3. Mengendalikan amarah
  4. Kemandirian
  5. Kemampuan menyesuaikan diri
  6. Disukai
  7. Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
  8. Kesetiakawanan
  9. Keramahan
  10. Sikap hormat

Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :

  1. Membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
  2. Bekerja dalam kelompok secara harmonis
  3. Berbicara dan mendengarkan secara efektif
  4. Mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif)
  5. Mengatasi masalah dengan teman yang nakal
  6. Berempati pada sesame
  7. Memecahkan masalah
  8. Mengatasi konflik
  9. Membangkitkan rasa humor
  10. Memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
  11. Menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
  12. Menjalin keakraban

Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru.

Ruang Lingkup EQ (Emotional Quotient): 

  1. Kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik, dan berhubungan dengan orang lain.
  2. Kemampuan mengerti dan mengendalikan emosi.
  3. Emosi adalah letupan perasaan seseorang. 

Aspek EQ(Emotional Quotient):

  • Kemampuan mengenal diri (kesadaran diri)
  • Kemampuan mengelola emosi (penguasaan diri).
  • Kemampuan memotivasi diri.
  • Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
  • Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati).

EQ(Emotional Quotient) Tinggi: 

  • Berempati.
  • Mengungkapkan dan memahami perasaan.
  • Mengendalikan amarah.
  • Kemandirian.
  • Kemampuan menyesuaikan diri.
  • Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.
  • Kesetiakawanan.
  • Keramahan.
  • Sikap hormat.

C. CQ (Cretivity Quotient)

Kecerdasan Kreativitas :

  1. Potensi seseorang untuk memunculkan sesuatu yang penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi serta semua bidang dalam usaha lainnya
  2. Kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta dan berkreasi, tidak ada satupun pernyataan yang dapat diterima secara umum mengenai mengapa suatu kreasi itu timbul.

Ciri-ciri kreativitas:

  • Kelancaran:Kemampuan memproduksi banyak ide.
  • Keluwesan: Kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan jalan pemecahan masalah.
  • Keaslian: Kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinal sebagai hasil pemikiran sendiri.
  • Penguraian: Kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci.
  • Perumusan Kembali: Kemampuan untuk mengkaji kembali suatu persoalan melalui cara yang berbeda dengan yang sudah lazim.

Cara Memunculkan Gagasan Kreatif:

  • Kuantitas Gagasan: Teknik-teknik kreatif dalam berbagai tingkatan keseluruhannya bersandar pada pengembangan pertama sejumlah gagasan sebagai suatu cara untuk memperoleh gagasan yang baik dan kreatif.
  • Teknik Brainstorming: Teknik ini cenderung  menghasilkan gagasan baru yang orisinil untuk menambah jumlah gagasan konvensional yang ada.
  • Sinektik: Suatu metode atau proses yang menggunakan metafora dan analogi untuk menghasilkan gagasan kreatif atau wawasan segar ke dalam permasalahan.
  • Memfokuskan Tujuan: Membuat seolah-olah apa yang diinginkan akan terjadi besok, telah terjadi saat ini dengan melakukan visualisasi yang kuat.

D. SQ (Spiritual Quotient)

Spiritual adalah inti dari pusat diri sendiri.Kecerdasan spiritual adalah sumber yang mengilhami, menyemangati dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu.SQ adalah bukti ilmiah ketika anda merasakan keamanan (SECURE), kedamaian (PEACE),penuh cinta (LOVED), dan bahagia (HAPPY).

Ciri-ciri SQ (Spiritual Quotient) Tinggi:

  1. Memiliki prinsip dan visi yang kuat.
  2. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman.
  3. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.
  4. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.

IQ saja tanpa EQ ?

Banyak di dunia ini hanya diukur dari kecerdasan IQ saja. Padahal menurut penelitian para pakar, kecerdasan IQ hanya menyumbang 5% (maksimal 10%) dalam kesuksesan seseorang. Bahkan tidak jarang banyak perusahaan yang merekrut seseorang berdasarkan dari test IQ saja. Banyak orang di dunia ini yang pintar namun tidak mampu berkomunikasi secara perasaan kepada orang lain. Begitulah orang yang memiliki IQ tinggi tetapi tidak dibarengi dengan EQ. Bagaikan paku yang pernah dihujam ke sebatang kayu, walaupun bisa dicopot kembali namun lubang itu akan masih tetap ada. Disinilah EQ itu bekerja dan mampu memberikan kesuksesan dalam diri kita. EQ dan komunikasinya yang baik mampu memberikan apresiasi ke dalam diri sendiri dan orang lain. EQ membantu kita menjadi seseorang yang sukses dalam bersosial dan berkehidupan.

Bagaimana IQ dan EQ Tanpa SQ?

Telah kita ketahui bahwa IQ dan EQ saling berkaitan serta bagaimana keduanya apabila bekerja bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan tersebut tidak disinergikan dengan SQ maka akan berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah untuk menjadi “ahli pertapa”, duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas. Banyak orang cakap dan pintar di dunia ini, salah satunya adalah Hittler. Kita semua mengenal Hittler sebagai pemimpin yang handal. Mampu mempengaruhi sebagian belahan dunia untuk berada di dalam kekuasaannya. Perlu diketahui pula, hittler termasuk salah seorang pemimpin yang hebat dalam hal IQ dan EQ. Buktinya dia mampu dielu-elukan oleh para pengikutnya. Bahkan ada sebuah statement yang berasal dari dia, “Seribu kebohongan akan menjadi satu kebenaran“. Namun dibalik kejayaannya, dia mempunyai niatan yang buruk. Tujuan yang tidak mulia. Itulah gambaran cakap IQ dan EQ namun tanpa SQ, tidak menyadari makna/value dalam diri serta siapa dirinya dan untuk apa dirinya diciptakan.

Bagaimana dengan koruptor? Tentu saja menjadi seorang koruptor harus memiliki EQ dan IQ yang baik. Dia cerdas dan harus jago ber-strategi. Jago ber-negosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang untuk mau diajak berspekulasi dan berkompromi dengannya. Semangat juang tinggi? Tentu, mereka nampak selalu prima dan percaya diri. Namun akhlak dan moralnya? Masih bobrok. Itulah cakap IQ dan EQ namun tidak memiliki SQ. Bahkan menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang dijiwai dengan SQ. Banyak seseorang yang di PHK dari pekerjaannya bukan karena mereka tidak pintar, bukan karena mereka tidak pintar mengoperasikan sesuatu, bahkan bukan karena ketidakmampuannya berkomunikasi. Tetapi karena tidak memiliki integritas. Tidak jujur dan tidak bertanggung jawab.

IQ digambarkan sebagai “What I think?“, EQ “What I Feel”, dan SQ adalah kemampuan menjawab “Who I am“. Siapa saya? Dan untuk apa saya diciptakan. Tuhan Maha Adil, sebenarnya kita memiliki semua kecerdasan ini tetapi tidak pernah kita asah bahkan kita munculkan. Untuk menjadi seorang pribadi yang sukses kita harus mampu menggabungkan dan mensinergikan IQ, EQ, dan SQ. Ilmu tanpa hati adalah buta, sedangkan ilmu tanpa hati dan jiwa adalah hampa. Ilmu, hati, dan jiwa yang bersinergi itulah yang memberikan makna.

Keseimbangan IQ, EQ, dan SQ Dalam Konteks Islam

Kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Berfikir adalah media untuk menambah perbendaharaan/khazanah otak manusia. Manusia memikirkan dirinya, orang-orang di sekitarnya dan alam semesta. Dengan daya pikirnya, manusia berupaya mensejahterakan diri dan kualitas kehidupannya. Pentingnya mendayagunakan akal sangat dianjurkan oleh Islam. Tidak terhitung banyaknya ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Rasulullah SAW yang mendorong manusia untuk selalu berfikir dan merenung. Redaksi al-Qur'an dan al-Hadis tentang berfikir atau mempergunakan akal cukup variatif. Ada yang dalam bentuk khabariah, insyaiyah, istifham inkary. Semuanya itu menunjukkan betapa Islam sangat concern terhadap kecerdasan intelektual manusia. Manusia tidak hanya disuruh memikirkan dirinya, tetapi juga dipanggil untuk memikirkan alam jagad raya. Dalam konteks Islam, memikirkan alam semesta akan mengantarkan manusia kepada kesadaran akan ke-Maha kuasa Sang Pencipta (Allah SWT). Dari pemahaman inilah tumbuhnya Tauhid yang murni ."Agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal" hendaknya dimaknai dalam konteks ini. 

Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan diri. Dalam bahasa agama , EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas". Pusat dari EQ adalah "qalbu". Keharusan memelihara hati agar tidak kotor dan rusak, sangat dianjurkan oleh lslam. Hati yang bersih dan tidak tercemar lah yang dapat memancarkan EQ dengan baik. Di antara hal yang merusak hati dan memperlemah daya kerjanya adalah dosa. Oleh karena itu ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Rasulullah SAW banyak bicara tentang kesucian hati.

Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas dan ikhlas. Kalau EQ berpusat di hati, maka SQ berpusat pada "hati nurani" (Fuad/dhamir). Mengacu kepada paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa Islam memberikan apresiasi yang tinggi terhadap SQ. Tinggal bagaimana manusia memelihara SQ-nya agar dapat berfungsi optimal.

Oleh karena Islam memberikan penekanan yang sama terhadap " hablun min Allah " dan "hablun min al-naas ", maka dapat diyakini bahwa keseimbangan IQ, EQ dan SQ merupakan substansi dari ajaran Islam. Jika selama ini orang Islam sadar atau tidak, turut mengagungkan dan memberi penekanan terhadap pendidikan akal dengan mengenyampingkan pendidikan hati dan hati nurani berarti orang Islam telah mengabaikan semangat dan ajaran agamanya.

keseimbangan IQ, EQ dan SQ merupakan substansi dari ajaran Islam. Dengan IQ, manusia disuruh berfikir untuk hal yang positif, memikirkan kekuasaan Allah sehingga dapat mensyukurinya. Dengan EQ, manusia harus memelihara hati agar tidak kotor dan rusak, serta bersifat terpuji. Dengan SQ, manusia harus menempatkan perilaku dan hidupnya dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, mampu menilai bahwa tindakan mana yang bermanfaat dan tidak menimbulkan kemaksiatan.

Penerapan IQ, EQ, dan SQ Dalam Kehidupan

Sekarang ini kebanyakan manusia menganggurkan kecerdasan yang mereka miliki. Punya mata hanya untuk melihat tetapi tidak untuk memperhatikan, punya perasaan hanya untuk merasakan tetapi tidak untuk menyadari, punya telinga hanya untuk mendengar tetapi tidak untuk mendengarkan dan seterusnya. Oleh sebab itu, berbagai kecerdasan yang dimiliki haruslah dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan jangan sampai disia-siakan.

IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat berasal dari berbagai proses, diantaranya :

  • Merumuskan keputusan.
  • Menjalankan keputusan tersebut.
  • Menyikapi hasil pelaksanaan keputusan itu.

Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi), bukan berdasarkan pada kebiasaan atau preferensi pribadi suka atau tidak suka. 

Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada. Rencana keputusan yang hendak kita ambil merupakan hasil dari penyaringan logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan. Kemudian dengan SQ kita dapat menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup apa yang lebih bermakna supaya tidak sia-sia.

Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini yang harus dipertimbangkan. Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik. Ini merupakan salah satu pengaplikasian orang yang menggunakan IQ, EQ dan SQ dalam mengambil keputusan.

Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan se-fleksibel orang berenang. 

Aplikasi keputusan dengan IQ, EQ, dan SQ ini hanyalah satu dari sekian tak terhitung cara hidup, dan seperti kata Bruce Lee, strategi yang paling baik adalah strategi yang kita temukan sendiri di dalam diri kita. “Kalau kamu berkelahi hanya berpaku pada penggunaan strategi yang diajarkan buku di kelas, namanya bukan berkelahi (tetapi belajar berkelahi)”. 

Kecerdasaan Intelektual ( IQ ) anak telah ditumbuh kembangkan di sekolah, misalnya melatih keterampilan teknis dan pengetahuan ilmiah anak. Lalu, bagaimana dengan EQ dan SQ? 

a. Melatih EQ Anak

Kini orang tua semakin peduli dengan karakter anak. Para orang tua semakin sadar dan yakin bahwa keberhasilan anak tidak lagi cukup dengan ketrampilan teknis dan pengetahuan ilmiah, namun juga dengan kemampuan pengendalian diri dan hidup bermasyarakat.

Secara garis besar ada dua hal utama dalam kecerdasan emosi, yaitu : 

1. Mengenalkan dan mengajarkan berbagi jenis emosi kepada anak

Tips sederhana dalam mengajarkan kecerdasan emosi adalah dengan sering menyebutkan berbagai jenis emosi kepada anak. Misalnya anak sedang cemberut, maka sebagai orang tua kita dapat menegaskan situasi emosi tersebut kepada anak, misalnya dengan menanyakan, “Adik cemberut, apa sedang kesal? Adik kesal apa karena Ibu melarang nonton TV?” Dengan demikian anak dipandu untuk terbiasa mengenali kondisi emosi dirinya dan penyebab munculnya emosi itu.

2. Mengelola emosi

Setelah anak tersebut tahu berbagai macam emosi yang ada pada diri seseorang, langkah selanjutnya adalah mengajarkan kepada anak bagaimana mengelola emosi tersebut.

Tips sederhana untuk mengelola emosi adalah ketika orang tua marah, sedih, bingung, kesal, gembira, dan situasi emosi lainnya, orang tua juga perlu menyampaikan alasannya. Misalnya, seorang anak bermain dan tidak membereskan mainannya setelah selesai, sang Ibu bisa berkata, “Adik, Ibu sangat kesal melihat mainan yang berantakan, karena Ibu menjadi repot membereskannya. Ibu akan senang kalau Adik membantu Ibu membereskan mainan sendiri.” Dengan pernyataan itu sang anak akan belajar mengenali situasi emosi ibunya (kesal), sebab munculnya (mainan berantakan), dan mengapa sebab tersebut menyebabkan munculnya emosi tertentu (kesal karena repot membereskannya). Perlu ditunjukkan ekspresi yang sesuai dengan emosi saat melatih anak kecil (kalau kesal ya jangan tersenyum, namun tunjukkan wajah serius dan cemberut). Semakin dewasa nanti semakin mungkin menyampaikan emosi dengan ekspresi yang berlawanan misalnya dalam bentuk sindiran (kesal, namun tersenyum).

Apabila anak sedari usia dini telah sering dilatih untuk peka dalam mengenali emosi, maka semakin dewasa akan semakin mudah mengenali emosi, dan akhirnya dapat menyesuaikan sikapnya dengan situasi emosi yang ada.

b. Melatih SQ Anak

Jika anak balita memiliki SQ paling tinggi, dia jujur mengungkapkan sesuatu berdasarkan apa yang ada di lubuk hatinya. Bila tak suka, anak balita akan bilang tak suka, tak memanipulasi jawabannya. Sejalan bertambahnya usia, SQ akan menurun, karenanya orangtua harus terus mengajarkan anak untuk mengembangkan SQ-nya, misal mengajarkan anak bahwa kakak menolong adik bukan karena dilandasi kewajibannya sebagai kakak semata, namun dilandasi nilai kasih sayang pada adik. 

Kemampuan IQ tinggi dengan dibarengi EQ belum cukup jika tidak dibarengi oleh SQ. Misalnya pada kasus mengejar uang dan jabatan dengan cara mengabaikan apakah intelektual dan emosi yang digunakan telah menyinggung atau merugikan orang lain. 

Pakar Sosiolog anak DR Howard Gardner dalam riset yang dilakukannya mendapati adanya kecerdasan anak yang majemuk. Dalam kesimpulannya, tidak ada anak bodoh dan pintar. "Yang ada anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan" ujarnya.Sikap dan pengetahuan orang tuanya-lah yang menentukan apakah potensi kecerdasan anak akan berkembang atau justru padam.

Peran IQ, EQ, dan SQ pada Kesuksesan

kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan otak dan daya pikir semata, malah lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Tentunya ada yang salah dalam pola pembangunan SDM selama ini, yakni terlalu mengedepankan IQ, dengan mengabaikan EQ dan SQ. Oleh karena itu kondisi demikian sudah waktunya diakhiri, di mana pendidikan harus diterapkan secara seimbang, dengan memperhatikan dan memberi penekanan yang sama kepada IQ, EQ dan SQ. 

Pendidikan sekolah bukan lagi satu-satunya tumpuan keberhasilan seseorang dalam meraih kebahagiaan. Sistem pendidikan yang dikenal selama ini hanya menekankan pada nilai akademik, kecerdasan otak saja. Siswa dituntut belajar mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi sekedar supaya memperoleh nilai bagus yang dapat dijadikan bekal mencari pekerjaan. Kecerdasan IQ ditengarai tidak berjalan seimbang dengan dua kecerdasan lainnya, yakni kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Di sisi lain, dijumpai kekerasan dan penyimpangan perilaku. Keahlian dan pengetahuan saja tidaklah cukup, perlu ada pengembangan kecerdasan emosi, seperti inisiatif, optimis, kemampuan beradaptasi. EQ dengan garis hubung antara manusia dengan manusia yang lain. Sedangkan SQ, hubungan manusia dengan Tuhan. Tiga kecerdasan tersebut tidak bisa dipisahkan. Ketika seseorang berhasil meraih kesuksesan dengan memaksimalkan IQ dan EQ, seringkali ada perasaan hampa dalam kehidupan batinnya, karena mereka tidak memuat SQ. 

Peran IQ, EQ, dan SQ diantaranya dapat meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja. Bahkan bisa merubah budaya ketidak disiplinan menjadi disiplin dan meningkatkan rasa tanggung jawab karyawan terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Metodologi training yang diterapkan akan menuntun peserta membangkitkan 7 nilai dasar, yakni kejujuran, keadilan, kedisiplinan, tanggung jawab, visioner, kerjasama, dan kepedulian. Tujuh nilai dasar itu sebenarnya sudah ada dalam diri manusia. Sehingga melalui pelatihan akan menghasilkan peningkatan secara berkesinambungan dan berkelanjutan seumur hidup.

baca juga materi Bimbingan dan Konseling Keluarga yang lebih lengkap
Daftar Pustaka
Ali, H.Suparmo dan Hartini,Tri. (2014). Konseling Keluarga. Semarang. IKIP PGRI Semarang Press 
Djamarah, Syaiful Bahari. (2014). Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga (Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak). Jakarta : Rineka Cipta
Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga (Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga). Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Nalgita, Prof. Dr. Bimo. (2014). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta : Andi Offset
Nggermanto, Ir. Agus. (2015). Kecerdasan Quantum (Melejitkan IQ, EQ, dan SQ). Bandung : Nuansa Cendekia
Pujosuwarno, Sayekti. (1994). Bimbingan dan Konseling Keluarga. Yogyakarta : Menara Mas Offset
Salim, H. Moh Haitami. (2013). Pendidikan Agama dalam Keluarga (Revitalisasi Peran Keluarga dalam Membangun Generasi Bangsa yang Berkarakter). Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
St. Darmawijaya. (1994). Mengarungi Hidup Berkeluarga. Yogyakarta : Kanisius
Willis, S.Sofyan.(2011). Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung : Alfabeta
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Surabaya : Rona Publishing
LihatTutupKomentar

Followers