Landasan Sosial Budaya Bimbingan dan Konseling
![]() |
Landasan sosial budaya bimbingan dan konseling |
A. Pendahuluan Landasan Bimbingan dan Konseling Sosial
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang bersangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
B. Uraian Materi Landasan Bimbingan dan Konseling Sosial
1. Individu Sebagai Produk Lingkungan Sosial Budaya
Pesatnya arus globalisasi dan perkembangan jaman disamping berdampak positif, tetapi juga melahirkan dampak yang kurang menguntungkan, yakni dengan merebaknya berbagai problema yang semakin kompleks, baik yang bersifat personal maupun sosial. Kondisi ini ternyata sangat kondusif bagi berkembangnya masalah-masalah pribadi dan sosial yang terekspresikan dalam suasana psikologis yang kurang nyaman, seperti: perasaan cemas, stres, dan perasaan terasing serta terjadinya penyimpangan moral atau sistem nilai.
Masalah lain sebagai dampak negative dari kehidupan modern ini adalah semakin kompleksnya jenis-jenis dan syarat pekerjaan, pola kehidupan, kesempatan, persaingan individu, dan sebagainya. Dengan demikian individu dituntut untuk lebih mampu menghadapi berbagai masalah seperti masalah penyesuaian diri, masalah pemilihan pekerjaan, masalah sosial dan masalah pribadi.Dalam hal ini individu tertentu perlu mendapatkan bantuan yang memadai dalam usaha mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh masalah yang dihadapi yaitu.
Manusia hidup berbangsa-bangsa, bersuku-suku dengan berbagai aneka ragam budaya yang berbeda dan memiliki lingkungan sosial yang berbeda pula. Perbedaan itu bisa menimbulkan subjektif budaya sehingga akan berpengaruh pula pada upaya pemberian bantuan (bimbingan dan konseling). Proses bimbingan dan konseling merupakan proses komunikasi antara konselor dengan konseli. Proses konseling yang bersifat antar budaya (konselor dan konseli berasal dari budaya yang berbeda) sangat peka terhadap pengaruh dan sumber-sumber hambatan komunikasi seperti bahasa dan lain sebagainya. Perbedaan latarbelakang ras atau etnis, kelas social ekonomi, dan bahasa bisa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling.Oleh sebab itu, konselor harus bisa menjaga netralitas sosial budaya dalam memberikan bantuan (melakukan bimbingan dan konseling).
2. Bimbingan dan Konseling Antar Budaya
Sesuai dengan dimensi kesosialannya, individu-individu saling berkomunikasi dan menyesuaikan diri. Komunikasi dan penyesuaian diri antar individu yang berasal dari latar belakang yang sama cenderung lebih mudah dari pada mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
Pedersen mengemukakan bahwa perbedaan dalam latar belakang ras atau etnik, kelas sosial ekonomi dan pola bahasa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling, dari awal pengembangan hubungan yang akrab dan saling mempercayai (rapport) antara klien dan konselor, penstrukturan suasana konseling, sampai peniadaan sikap menolak diri klien.
Beberapa Hipotesis yang dikemukakan Pedersen dkk (1976) tentang berbagai aspek konseling budaya antara lain:
- Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antara budaya pada diri konselor dan klien maka konseling akan berhasil.
- Makin besar kesamaan permohonan tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, maka makin efektif konseling tersebut.
- Makin sederhana harapan yang diinginkan oleh klien maka makin berhasil konseling tersebut.
- Makin bersifat personal, penuh suasana emosional suasana konseling antar budaya makin memudahkan konselor memahami klien.
- Keefektifan konseling antara budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses komunikasi.
- Keefektifan konseling akan meningkat jika ada latihan khusus serta pemahaman terhadap permasalahan hidup yang sesuai dengan budaya tersebut.
- Makin klien kurang memahami proses konseling makin perlu konselor /program konseling antara budaya memberikan pengarahan tentang proses ketrampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan dan transfer.
- Model konseling yang khusus dirancang untuk pola budaya tertentu akan efektif digunakan terhadap klien-klien yang berasal dari budaya tersebut daripada budaya lainnya.
- Konseling antar budaya akan efektif apabila konselor memperlihatkan perhatian kepada kliennya sebagai seorang individu yang spesial.
Agar dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling lintas budaya dapat berjalan efektif, maka konselor hendaknya mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
- Konselor yang secara budaya efektif mengenali nilai-nilai dan asumsi mana yang mereka pegang mengenai perilaku manusia yang diinginkan atau tidak diinginkan
- Konselor yang secara budaya efektif adalah mereka yang menyadari karakteristik umum dari konseling yang melintasi beberapa pikiran/ anggapan yang diperoleh dari sekolah.
- Konselor yang secara budaya efektif bisa berbagi pandangan dunia dengan konseli mereka tanpa meniadakan hak kekuasaan mereka.
- Konselor yang secara budaya efektif sungguh-sungguh ekletik dalam konseling mereka.
3. Landasan Sosial Budaya dalam Bimbingan dan Konseling
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang bersangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Kebutuhan akan bimbingan timbul karena terdapat faktor yang menambah rumitnya keadaan masyarakat dimana individu itu hidup.
Berikut faktor-faktor sosial budaya yang menimbulkan kebutuhan manusia akan bimbingan:
a. Perubahan Konstelasi Keluarga
Ketidakberfungsian keluarga yang melahirkan dampak negatif bagi perkembangan moralitas anak. Perubahan pola kerja keluarga, renggangnya hubungan orang tua dengan anak, kurangnya perhatian dan kesempatan untuk membimbing anak, serta berbagai stress konflik dan frustasi para orang tua maupun anak. Bagi keluarga yang mengalami disfungsional tersebut sering kali dihadapkan kepada kebuntuan dan kesulitan mencari jalan keluar atau pemecahan masalah yang dihadapinya, sehingga apabila tidak segera mendapat bantuan dari luar, maka masalah yang dihadapinya semakin parah.
b. Perkembangan Pendidikan
Demokrasi dalam bidang kenegaraan menyebabkan demokratisasi dalam kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Hal ini berarti membuka luas bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan. Kesempata yang terbuka ini memungkinkan berkumpulnya murid-murid yang berasal dari berbagai latar belakang antara lain: agama, etnis, keadaan sosial, adat istiadat dan ekonomi. Hal semacam ini menimbulkan berkembangnya masalah yang dihadapi oleh orang yang terlibat dalam kelompok campuran tersebut. Hal ini sering menimbulkan terjadinya kelompok-kelompok kecil yang berusaha memisahkan diri dari kelompok besar.
c. Dunia Kerja
Berbagai masalah dalam dunia kerja menuntut keahlian khusus dari pekerja. Untuk itu perlu dipersiapkan tenaga-tenaga yang terampil dan memiliki sikap mental yang tangguh dalam bekerja. Bimbingan dan konseling dibutuhkan untuk membantu menyiapkan mental para pekerja yang tangguh itu.
d. Perkembangan Kota Metropolitan
Perkembangan masyarakat telah mengubah pola kehidupan masyarakat terutama di kota-kota besar yang tahap perkembangannya lebih tinggi dan sangat cepat, pola kehidupan telah banyak berubah. Kehidupan kolektif menjadi semakin tipis, telah berubah menjadi kehidupan yang lebih bersifat individualistik, hubungan antar warga semakin renggang, sibuk dengan urusan masing-masing. Perhatian dan penghargaan hal-hal yang bersifat material atau kebendaan menjadi semakin besar. Oleh karena itu, nilai-nilai kebendaan semakin menonjol dan semakin menjadi ukuran.
e. Perkembangan Komunikasi
Dampak media massa terutama televisi terhadap kehidupan manusia sangatlah besar pengaruhnya. Banyak tontonan yang tidak seharusnya di lihat oleh anak-anak dan kurangnya pengawasan orang tua mengakibatkan anak-anak menjadi mudah terpengaruh terhadap tayangan acara televisi.
f. Seksisme atau dan Rasisme.
Seksisme merupakan paham yang mengunggulkan salah satu jenis kelamin dari jenis kelamin lainnya. Sementara rasisme merupakan paham yang mengunggulkan ras yang satu dari ras yang lainnya.
g. Kesehatan Mental
Semakin maraknya masalah kesehatan mental seperti gangguan jiwa, banyak orang yang melakukan percobaan bunuh diri, banyak remaja yang melakukan kriminalitas dan lain sebagainya. Menyikapi masalah tersebut maka sekolah, lembaga pendidikan lainnya dituntut untuk menyelenggarakan program layanan bimbingan dan konseling dalam upaya mengembangkan mental yang sehat, dan mencegah serta menyembuhkan mental yang tidak sehat.
h. Perkembangan Teknologi
Dengan perkembangan teknologi yang pesat maka timbul beberapa masalah seperti penggantian tenaga manusia dengan alat-alat mekanis-elektronik dan bertambahnya jenis pekerjaan baru dan jabatan yang memerlukan keahlian khusus. Hal ini menimbulkan kebutuhan pada masyarakat untuk meminta bantuan kepada orang lain atau badan yang berwenang untuk memecahkannya.
i. Kondisi moral dan keagamaan
Kebebasan menganut agama sesuai dengan keyakinan masing-masing individu menyebabkan seorang individu berpikir dan menilai setiap agama yang dianutnya. Kadang menilainya berdasarkan nilai moral umum yang dianggapnya paling baik.Hal semacam ini kadang menimbulkan keraguan akan kepercayaan yang telah diwarisi dari orang tua mereka.
j. Kondisi Sosial Ekonomi
Perbedaan yang besar dalam factor ekonomi diantara anggota kelompok campuran menimbulkan masalah yang cukup berat terutama dirasakan oleh individu yang berasal dari golongan ekonomi lemah. Untuk menanggulangi masalah ini memerlukan bimbingan baik bagi mereka yang berasal dari ekonomi lemah maupun dari golongan yang sebaliknya.
4. Permasalahan-permasalahan yang Terjadi Dalam Landasan Sosial Budaya
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuaian diri antar budaya, yaitu :
a. Perbedaan bahasa
Dalam perbedaan bahasa ini dapat menimbulkan permasalahan yang terjadi dalam Bimbingan Konseling yaitu, ketiadaan penguasaan bahasa asing yang dipakai oleh konselor atau guru pembimbing dalam proses konseling dengan latar budaya yang berbeda akan menyebabkan komunikasi dapat berhenti sama sekali, atau tersendat-sendat yang mengakibatkan terjadinya kekurang pengertian dan menimbulkan kesalahpahaman.
b. Komunikasi non-verbal
Dalam menggunakan Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Pesan-pesan yang disampaikan melalui isyarat, tanda-tanda atau bahasa non-verbal lainnya tidak banyak menolong, bahkan sering isyarat dan tanda-tanda yang sama dalam bahasa non-verbal itu memiliki arti yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan dalam budaya yang berbeda dalam melakukan proses konseling. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan dalam bimbingan konseling, yaitu masih adanya konselor atau guru pembimbing dalam melakukan proses konseling kurang dapat memahami bahasa non-verbal muridnya pada saat melakukan konseling dengan muridnya yang latar belakang budayanya berbeda, hal ini mengakibatkan sulitnya mengetahui penanganan apa yang seharusnya diberikan kepada muridnya dalam membantu menyelesaikan permasalahannya.
c. Stereotipe
Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subjektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan yaitu menyebabkan seorang konselor atau guru pembimbing memandang sesuatu (khususnya orang lain) menurut kemauan orang yang memandangnya itu berdasarkan anggapan-anggapan yang sudah tertanam pada dirinya dan orang tersebut biasanya tidak mau menerima kenyataan-kenyataan yang berbeda dari anggapan-anggapannya, sehingga hal ini akan mempersulit proses konseling berjalan dengan baik.
d. Kecenderungan menilai
Penilaian terhadap orang lain memang sering dilakukan oleh individu-individu yang berkomunikasi. Kecenderungan menilai ini baik yang menghasilkan penilaian positif positif maupun negatif, seringkali didasarkan pada standar objektif, dan sering pula merangsang timbulnya reaksi-reaksi baik positif maupun negatif dari pihak yang menilai. Masih banyak guru-guru pembimbing di sekolah yang menghadapi siswanya yang melakukan kesalahan kemudian langsung memberikan penilaian terhadap siswanya tersebut tanpa mencari tahu apa yang menyebabkan permasalahan itu timbul.
e. Kecemasan.
Sumber hambatan komunikasi dan penyesuaian yang lain ialah kecemasan yang ada pada pihak-pihak yang berinteraksi dalam suasana antarbudaya. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yang berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Pada saat melakukan proses konseling masih ada konselor atau guru pembimbing yang mengalami kecemasan karena hambatan komunikasi dan penyesuaian dengan kliennya yang berbeda latar belakang budayanya, hal ini menimbulkan permasalahan sehingga proses konseling akan berjalan kaku tanpa komunikasi yang lancar.
Agar komunikasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
5. Solusi Dari Permasalahan-permasalahan yang Terjadi Dalam Landasan Sosial Budaya
Solusi utama dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam Landasan Sosial Budaya, yaitu dengan adanya konseling profesional yang bersifat antarbudaya, atau bahkan multibudaya, yang merupakan kebutuhan yang amat mendesak bagi terselenggaranya pelayanan yang etis, dan hal ini merupakan bagian yang integral dari tugas profesional bimbingan dan konseling. Selain itu, meskipun agaknya tidak mungkin mengharapkan sebagian besar konselor memiliki keakraban dan keterampilan yang tinggi terhadap spektrum sosial budaya yang luas dan berbeda-beda, adalah tetap dimungkinkan, dan bahkan menjadi kewajiban kita, untuk menekankan (kepada seluruh konselor) penting dan perlunya sikap menghargai dan menjadi pertimbangan utama segenap aspek lingkungan sosial budaya yang unik yang berpengaruh terhadap tingkah laku klien.
Tuntutan tentang kompetensi konselor di atas membawa implikasi terhadap pribadi-pribadi konselor serta sekaligus lembaga pendidikan dan latihan bagi konselor untuk menghilangkan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam Landasan Sosial Budaya. Kurikulum dan program pendidikan serta latihan (teori dan praktek) oleh konselor perlu mencakup pengkajian dan kegiatan praktek lapangan berkenaan dengan aspek-aspek sosial budaya klien yang berbeda-beda. Hal ini merupakan solusi kedua agar para Konselor dan guru pembimbing mengetahui secara mendalam tentang berbagai unsur konseling antarbudaya. Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Hal tersebut merupakan solusi ketiga dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam Landasan Sosial Budaya. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
Para konselor pendidikan harus memperhatikan keragaman kondisi, kecenderungan dan kecepatan perubahan serta gejolak-gejolak sosial budaya yang ada dan terjadi di masyarakat. Program bimbingan dan konseling harus disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan yang terjadi. Di Indonesia yang memiliki penduduk multi ras, etnik, dan multi agama yang tersebar dalam daerah yang begitu luas dan banyak dipisahkan secara alami oleh laut dan pulau-pulau, memiliki keberagaman sosial budaya.
Silahkan Baca Juga: Landasan Filosofis Bimbingan dan Konseling